Butuh
keberanian yang besar bagi aku untuk menulis tentang Barasuara dan album
perdana mereka, Taifun. Salah satu alasannya adalah karena seseorang dibalik
band ini merupakan musisi Indonesia yang sangat aku kagumi sejak bertahun-tahun
yang lalu. Selain itu, saat pertama kali aku mendengarkan Taifun, hanya perasaan
takjub meluap-luap yang kurasakan. Bahkan saat ini, saat akhirnya aku
memberanikan diri untuk mulai menulis ditemani segelas es the manis,
memasang earphone di kedua telinga dan mendengarkan Barasuara, perasaan itu
masih ada. Maka,sejatinya tulisan ini bukanlah review, melainkan euphoria
semata.
Adalah
Iga Massardi, sosok idealis dibalik terbentuknya band ini sejak tahun 2012.
Bagi pendengar musik indie Indonesia pastilah mengenal gitaris ini sejak
tergabung dalam The Trees and The Wild, Tika & The Dissidents, hingga
Soulvibe. Ia juga sering menjadi gitaris pengiring bagi penyanyi pop terkenal,
Raisa Andriana. Aku tertarik untuk mengenal sosoknya (melalui Twitter dan
Instagram).
Dulu
sekali aku pernah membaca artikel tentang personil band yang memutuskan untuk
bersolo karir atau membentuk band lain. Bayangkan bahwa membangun sebuah band
seperti membangun keluarga. Saat anak-anak masih kecil mereka biasanya tidur
dalam satu kamar. Setelah beranjak dewasa, mereka ingin memiliki dan
mendekorasi kamar mereka sendiri. Mungkin saja analogi ini dapat
mempresentasikan alasan Iga Massardi membentuk Barasuara. Dan mungkin saja
semuanya berawal dari kegelisahan batin. Kira-kira deskripsi singkatnya seperti
ini : sebuah ide yang merasuki pikiran, semakin dipikirkan semakin
menjadi-jadi, imajinasi meluap-luap, dan….
Yang
menarik adalah, selain sebagai gitaris, Iga Massardi juga mengambil peran
sebagai vokalis. Penjelasan mengenai hal ini dapat dibaca pada artikel BARASUARA.
Di awal Barasuara dikenalkan ke publik, aku lumayan kaget dengan formasi ini.
Tapi setelah beberapa waktu berselang aku tidak bisa membayangkan orang lain
yang cocok untuk menjadi vokalis Barasuara kecuali Iga Massardi sendiri (weheee
aku terlalu terpanah :’D). Barasuara juga memiliki dua vokalis perempuan yaitu
Puti Chitara dan Cabrini Asteriska. Gitaris lainnya diisi oleh TJ Kusuma,
sebagai bassist adalah Gerald Situmorang, dan Marco Steffiano ditunjuk sebagai
drummer. Mereka adalah musisi-musisi mumpuni yang telah berpengalaman.
Tiga
tahun mungkin waktu yang cukup lama untuk menelurkan sebuah album. Namun
ekspektasi yang diciptakan sejak awal sama sekali tidak mengecewakan
orang-orang yang telah menunggu lahirnya album ini. Seperti salah satu lagu di
album yang rilis tanggal 16 Oktober 2015 (versi digital), album ini berjudul
Taifun. Setelah diselenggarakannya konser tunggal pada tanggal 22 Oktober 2015,
rilisan fisik album ini segera didistribusikan oleh label Demajors.
Secara
garis besar aliran Barasuara adalah rock. Namun musik rock yang disajikan oleh
orang-orang ini terasa berbeda. Segar dan memiliki jati diri. Semua lagu di
album Taifun ditulis dalam bahasa Indonesia dan seluruhnya diciptakan oleh Iga
Massardi. Di salah satu interview, Iga Massardi mengutarakan bahwa ia ingin
membuat musik yang memiliki identitas bangsanya. Dan aku rasa, Barasuara
berhasil menghadirkan musik yang memiliki “rasa” Indonesia.
Terdapat
sembilan lagu di dalam album yang diproduseri oleh Raisa Andriana ini.
Menariknya, hampir semua lagu di album ini tidak memiliki chorus. Uniknya lagi,
dalam penulisan seluruh lirik, Iga Massardi mengambil sudut pandang sebagai
“aku/kami” yang menunjuk pada orang kedua, yaitu “kamu”.
Baramu padam, baramu padam. Lara menyala
tanpa suara (Nyala
Suara)
Semua yang kau rindu. Semua menjadi
abu. Langkahmu tak berkawan. Kau telah sia siakan (Sendu Melagu)
O! Itu tak kau lihat tak kau ragu. Peluh dan
peluru hujam memburu. Bahasamu bahas bahasanya. Lihat kau bicara
dengan siapa
(Bahas Bahasa)
Sempurna yang kau puja dan ayat-ayat yang kau
baca. Tak kurasa berbeda, kita bebas untuk percaya. “Seperti kami pun
mengampuni yang bersalah kepada kami”
(Hagia)
Lepaskan rantai yang membelenggu. Nyalakan
api dan lenteramu (Api dan Lentera)
Di dalam mu dendam parah bersarang. Perih
mencekam, perih mencekam. Pedih bersulang, pedih bersulang. Lara
bersarang, lara bersarang (Menunggang Badai)
Keras serapah dari semua yang kau
tahu. “Apapun yang kan kamu cari adalah bisikanku” (Tarintih)
Sembuhkan lukamu yang membiru. Serpihan
hatimu yang berdebu. Pagimu yang terluka. Malammu yang menyiksa (Mengunci Ingatan)
Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati atau
berhenti berlari. Tawamu lepas dan tangis kau redam di dalam mimpi yang
kau simpan sendiri. Sumpah serapah yang kau ucap tak kembali. Tak
kembali (Taifun)
Katakan
selamat tinggal pada tema cinta romantis yhaaa. Di album ini tak satupun lirik
yang akan membuat pendengar melambung atau merona. Tema lagu-lagu di album
Taifun jauh lebih “berisi”, menyentuh tema-tema psikologis yang lebih mendalam.
Perasaan yang ditinggalkan oleh masing-masing track hanyalah perasaan emosional yang menghentak-hentak. Akhir
kata, selamat mencicipi masterpiece
yang sudah digadang-gadang sebagai album terbaik tahun ini hehehe. Selamat
menyalakan BARASUARA!
#LongLiveLocalMusic (*liarenyapril)
[ PS:
Saat Barasuara melalukan rangkaian Taifun Tour ke beberapa kota besar di
Indonesia, sayang aku tidak berkesempatan menonton secara live karena
(lagi-lagi) aku tak punya teman nonton yang ‘sepaham’ dengan musik Indonesia
yang berkelas ini. Hmmm sedih]